Islam Tidak Pernah Tidur, Muslim Yang Tidur !!!



Kebangkitan Islam di Indonesia, tepatkah terminologi ini?, tanya saya. Jika ada yang bilang kebangkitan Islam, memangnya Islam pernah terlentang?, tanya saya lagi kepada seorang teman aktivis muslim.

“Mungkin maksudnya proses yang membuat Islam bergerak ke arah yang lebih maju,” timpal teman itu, yang merasa terminologi itu tidak salah.

“Lho, memangnya Islam tidak pernah bergerak?” saya balik bertanya lagi. “Islam selalu bergerak, jangan-jangan yang tidur muslimnya?” kali ini saya langsung menukik kepada inti persoalan.

“Bukan Islam yang tidur, mungkin muslimnya. Apa iya sebuah nilai kehidupan kok tidur? Islam tidak pernah tidur dan tidak pernah terlentang; sebagaimana halnya Tuhan yang tidak pernah tidur dan tidak pernah mengantuk.

Salah menyusun terminologi jelas menyesatkan. Namun karena sudah menjadi hal biasa dan sehari-hari menjadi konsumsi publik, terminologi yang salah kaprah bisa menjadi benar adanya. Terminologi “Kebangkitan Islam” sangat populer. Berpuluh-puluh atau bahkan beratus-ratus artikel dan buku menggunakan terminologi ini sebagai tema atau bahkan judul.

Jika merunut dari dialog tadi, tampaknya yang pas memang bukan “Kebangkitan Islam” melainkan “Kebangkitan Muslim”. Jadi, jika pun ada yang disebut-sebut sedang tidur atau harus dibangkitkan bukan Islam sebagai sebuah agama dan nilai kehidupan, melainkan muslim selaku para pemeluknya.

“Jadi yang mesti dibahas muslimnya, bukan Islamnya,” ajak saya lagi kepada seorang teman aktivis itu.

Perbincangan kami pun sampai kepada sebuah kabin multitafsir tentang nilai-nilai Islam itu sendiri. “Salah satu sebab tidurnya muslim sepertinya karena penafsiran tentang agama yang beragam sehingga tidak bersatu. Bukankah sangat relevan antara kebangkitan muslim dan persatuan muslim?” tanya temanku itu.

“Dalam hidup, saya tidak pernah memandang perbedaan, saya selalu mencari kesamaan. Konsensus adalah mencari kesamaan, meskipun hanya satu huruf. Jika ada konsensus yang menghendaki kesamaan dari A-Z, maka tamatlah dunia ini. Jika ada lubang-lubang ketidakcocokan, tidak usahlah digali-gali. Jika yang dicari adalah perbedaan maka di dunia ini terdapat sejuta satu perbedaan. Untuk apa perbedaan dicari jika kesamaan yang sedikit saja sudah bisa menyatukan,” uraiku.

Dari penjelasanmu itu, sepertinya negara Madinah bukan negara berdasarkan agama, bahkan punya warna sekuler?” tanya ketiga temanku lagi. “Mengatur negara jangan dengan dengan sistem sekuler atau agama,” timpalku lagi. Jadi?

Gunakan prinsip Ilahi bahwa tugas pemimpin negara adalah memakmurkan negaranya: mengenyangkan dan mengamankan rakyatnya. Tugas Tuhan dan tugas pemimpin di dunia ini sama, fal ya’budu rabba hadzal bait: al-ladzi atha’mahum min ju’in wa amanahum min khaufin. Itu tugas pemimpin. Pemimpin di dunia harus mampu menjabarkan misi Tuhan itu.

***

Sebagian aktivis muslim yang berkukuh pendapat bahwa kebangkitan Islam identik dengan diberlakukannya syariat Islam. “Tentang hal ini, apa pendapatmu?” tanya ketiga teman tadi mencoba menggali opiniku.

“Coba perhatikan kalam Tuhan, syara’a lakum min al-diin. Tuhan telah mensyariatkan untukmu tatanan: yang telah diberikan kepada Nuh, sama halnya yang diberikan kepada Muhammad, kepada Ibrahim, kepada Musa, dan Isa. Apa visi-misi mereka dalam diin? An-aqimuddin wa laa tatafarraqu fiihi: tegakkan nilai-nilai Ilahiah dan tidak berpecah belah atas nama nilai-nilai Ilahiah itu. Selesai.

Tentang penegakan syariat Islam, bukankah apa yang dibawa Rasulullah Muhammad adalah ajaran syariat di masa lalu Rasul? Bukankah haji, shaum, zakat, shadaqah sudah ada sebelum Muhammad?” jabarku lagi.

Merasa tak puas, ketiga teman tadi mencoba memberi contoh penerapan undang-undang negara di Iran dan Sudan yang disebut-sebut berdasarkan syariat Islam. “Jika hal semacam itu bisa dilakukan di Sudan dan Iran, mengapa tidak di Indonesia. Bukankah mayoritas dari warga Indonesia adalah muslim?” mereka melanjutkan pertanyaan.

“Prinsip Hukum Islam adalah membatasi terjadinya kejahatan seminimal mungkin dan memperluas terciptanya kesejahteraan seluas mungkin. Apapun nama hukumnya. Sekarang, maukah rakyat Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika dibawa kesana?” aku balik bertanya.

“Jadi, Hukum Islam demi kebangkitan muslim tadi tidak perlu diformalkan dengan istilah Hukum Islam. Begitukah?” ketiga teman tadi masih penasaran.

“Serahkan kepada apa maunya rakyat, itulah demokrasi. Prinsip, jangan keluar dari frame Indonesia Raya,” tegasku lagi.

***

“Jadi, kamu yakin jika nilai-nilai ilahiah sudah diimplementasikan, meskipun tidak dalam bentuk formal, lantas permasalahan sosial akan kunjung selesai?” tanya mereka menutup serangkaian pertanyaan.

“Tidak akan selesai selama dunia belum habis. Jika selesai, tugas Tuhan selesai, dong?” simpulku sambil tersenyum simpul.

0 comments: